Jumat, 18 Februari 2011

RESPON PONDOK PESANTREN SALAF TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL

Drs. Mohammad Arif AM, M.A.
STAI Miftahul 'Ula Nglawak Kertosono


A.    Perubahan Sosial  Yang Dihadapi Pondok Pesantren Salaf Era Sekarang.
1. Pengertian  Tentang Perubahan Sosial 
Perubahan merupakan fenomena sosial dan terjadi dalam waktu yang tidak terprediksi secara pasti. Masyarakat selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan ruang dan waktu serta kemajuan pemikiran, terutama saat ini didominasi oleh kemajuan teknologi informasi, komunikasi bahkan transportasi. Perubahan tersebut mempengaruhi perilaku, interaksi individu maupun kelompok dalam masyarakat. Sebagaimana Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang di dalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.  Perubahan sosial menurut Wilbert Moore merupakan perubahan penting dari struktur sosial, yaitu perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial, yang merupakan struktur norma, nilai dan fenomena kultural.  Orang yang memandang masyarakat sebagai sistem yang berada dalam keseimbangan dan yang mencoba menganalisis aspek struktural dari sistem (masyarakat) itu akan mengakui bahwa keseimbangan (equiliberium) hanya dapat dipertahankan melalui perubahan tertentu di dalam sistem tersebut. Perubahan ini terjadi akibat tanggapan atas kekuatan eksternal yang menimpa sistem itu.




Karena itu, baik perubahan internal maupun perubahan eksternal, diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan, dan tidak ada alasan logisnya mengapa pemahaman mengenai struktur harus diprioritaskan atas pemahaman mengenai perubahan.   Di pondok pesantren salaf sangat merupakan entitas dan komunitas yang berkaitan erat bahkan identik dengan interaksi individu, bahkan memiliki ikatan emosional  bahkan primordial yang kuat. Perasaan senasib dan seperjuangan merupakan perekat perilaku sosial di pondok pesantren salaf. Seperti yang terjadi di dalam pondok pesantren Krempyang dan pondok pesantren Mojosari, ke duanya berada di wilayah Kabupaten Nganjuk. Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. 
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).  Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.  Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).                    
Sudah lama terjadi perubahan persepsi  tentang “perubahan”  di dalam – apa yang sering disebut – Islam tradisional  yang dari penglihatan sosilogi positivistik merupakan “batu karang yang tak pernah berubah”  dan menurutnya menjadi penghalang menuju modernisasi.  Para ilmuwan sosial Amerika yang berorientasi pada modernisasi  (modernization - oriented) yang mengkaji Indonesia  pada tahun 1950-an dan 1960-an, juga mempersepsikan  adanya potensi perkembangan yang lebih besar di kalangan modernis dan karena itu lebih banyak memberikan perhatian kepada kalangan tersebut dari pada kepada kalangan tradisional.  Geertz, yang paling berpengaruh di antara mereka, berulang kali merujuk perbedaan antara kaum kolot (tradisionalis, konservatif) dan muslim pembaharu serta persaingan antara NU dan Muhammadiyah pada tingkat lokal; dia juga memberikan beberapa ulasan yang cerdas tentang sikap-sikap mereka yang bertentangan. Meskipun demikian, pengamatan-pengamatannya mengenai NU dan dunia pondok pesantren, yang dia definisikan dalam term  yang benar-benar negatif (“antimodernisme”, “organisasi kontra pembaruan”), tetap sangat tidak memuaskan.                                                              
Statemen Geertz dan Martin van Bruinessen sudah terbantah oleh hasil penelitian antropolog Amarika Serikat Ronald Alan Lukens-Bull, dalam bukunya Jihad Ala  Pesantren Di Mata Antropolog Barat yang mendukung pemikiran Ward dan Rustow (1964)  dalam hal modernisasi ekonomi, termasuk aplikasi ilmiah, spesialisasi kerja, perbankan, dan keuangan serta munculnya tingkat-tingkat material. Karena kegunaan dan produksi teknologi, pondok pesantren salaf telah menggabungkan teknologi baik dalam kurikulum maupun metodenya. Saat ini pondok pesantren Mojosari Nganjuk memiliki SMK Al-Bustomi, dengan jurusan teknologi informatika (TI). Selain untuk sarana informasi dan komunikasi  dalam lingkup pondok pesantren, seperti  telepon, komputer, dan internet, bahkan beberapa pondok pesantren telah mempunyai web atau blog, sarana transportasi mobil untuk pergi ke pertemuan dan pengajian, bahkan menggunakan pesawat untuk pergi ibadah haji ke Makkah, pondok pesantren mengajarkan para santrinya bagaimana menggunakan dan mengoperasikan barang-barang tersebut.  Santri dan para pengurus pondok pesantren Mojosari dan Krempyang sudah sangat familier dengan barang-barang yang berteknologi informasi dan komunikasi tersebut. Tinjauan filosofis dari paradigma pendidikan Islam merupakan upaya pengembangan pandangan hidup Islami, yang  dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari, maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan bertolak dari suatu pandangan yang teosentris di mana pandangan antoposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris.                                                                                                                                        
Globalisasi mau tidak mau harus dilalui oleh seluruh negara di dunia ini. Hubungan antar negara menjadi sedemikian penting pengaruhnya dalam mewujudkan kehidupan masing-masing negara terlebih ketika era globalisasi tiba. Menjadi suatu keniscayaan apabila sebuah negara harus bekerjasama dengan negara lain bahkan lebih ekstremnya lagi memerlukan bantuan negara lain. Pola-pola hubungan antar negara menjadi bahasan penting dalam membedah perubahan sosial yang terjadi saat ini.                                   
Selain peran negara lain (negara maju), perubahan sosial di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh organisasi internasional dan bahkan perusahaan multi nasional. Dominasi negara maju dapat dilihat dari berbagai bantuan yang masuk ke nagara berkembang atas nama modernisasi. Modernisasi diangap sebagai jalan untuk meraih kemajuan negara berkembang. Organisasi internasional mempunyai peran yang hampir sama dengan negara maju. Berbagai kesepakatan dan kebijakan yang dihasilkan memberikan dampak yang sangat nyata bagi negara berkembang. Hal ini terjadi karena memang organisasi internasional didominasi oleh negara maju.
2. Teori Perubahan Sosial                                                                                                 
Dalam disertasi ini penulis mengunakan analisis teori perubahan sosial Ferdinand Tonnies.  Menurut  teorinya, perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan .Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.  Sinisme pondok pesantren salaf terhadap hal-hal yang baru memang masih tampak, tetapi pada akhirnya bisa menerima seuatu yang baru, sehingga terjadi perubahan di dalam institusi tersebut. Meskipun pondok pesantren salaf dapat menerima perubahan, terutama kebutuhan dalam teknologi informasi dan telekomunikasi , tetapi tetap selektif. Kebudayaan dan tradisi yang sudah berjalan di pondok pesantren salaf tetap  memiliki nilai yang tinggi, sehingga tetap bertahan dan hidup, setidaknya di wilayah pondok pesantren tersebut.

B.    Respon Pondok Pesantren Salaf Terhadap Arus Perubahan Sosial

Pondok pesantren salaf memang telah terbukti dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, keilmuan dan keagamaan sebagai lembaga tertua di Indonesia yang telah mampu dan berhasil membuktikan diri sebagai pusat pengkaderan ulama, pemimpin yang tangguh dan sebagai benteng aqidah ummat. Bahkan hampir semua Pesantren dan Kyainya dalam sejarah pra Islam dan kemerdekaan Indonesia terlibat dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Bahkan tidak sedikit santri-santri Pesantren tempo dulu menjadi tokoh nasional yang terkemuka dan disegani karena perannya sebagai pahlawan, ilmuan dan pemimpin ummat yang ikhlas. Tapi semua kebesaran Pesantren salaf itu kini telah pudar, maka seharusnya kita tidak lagi harus ‘menghakimi’ orang lain sebagai Kiyai Kalender. Karena Kyai karbitan dan Kyai kalender itu sesungguhnya kini lahir dari Pesantren masa kini (baca: Pesantren dulu, sekarang dan nanti).
Berbicara tentang pondok pesantren salaf tak akan bisa lepas dengan organisasi keagamaan NU yang merupakan simbol dan representasi pondok pesantren salaf, yang dikenal sebagai institusi yang menghargai dan menjaga nilai serta tradisi  Islam di Indonesia. NU memiliki gudang besar berisi khazanah tradisi yang sangat besar pula makna dan manfaatnya bagi kelestarian hidup organisasi itu sendiri dan bagi kepentingan para pendukungnya, terutama kaum nahdliyin dan dunia pondok pesantren. Tradisi sendiri bisa disebut sebagai makluk hidup seperti kita, dan karena itujuga mengenal sakit, kekeringan, mati, serta kondisi lain yang mempengaruhinya. Dunia modern yang gemerlap membawa wabah kekeringan itu dan bisa mengakibatkan kematian. Bila kematian itu terjadi karena desakan dan tekanan, baik luar maupun dalam yang tak lagi tertahankan.  Maka sebenarnya dapat dijadikan parameter bahwa NU secara otomatis menjadi kekuatan penting untuk kelestarian pondok pesantren salaf , demikian juga sebaliknya. Sehingga merupakan suatu simbiosis mutualistis antara NU dan pondok pesantren salaf.    
Pasca kemerdekaan pondok pesantren salaf masih tetap mampu membuktikian peran dan posisinya sebagai lembaga keagamaan yang behasil mencetak tokoh-tokoh kaliber dunia sebut saja Syekh Rifai Kalisalak dengan Pesantrennya di Kalisalak, Syekh Soleh Darat dengan Pesantrennya di Darat Semarang keduanya telah mampu melahirkan ulama besar Jawa abad XVIII dan XIX seperti Kyai Kholil Bangkalan, Kiyai Hasyim Asyari dengan ribuan santrinya yang allamah pula. Begitu juga Syekh Nuruddin Al Raniri di Aceh, Yusuf Al Makasari, Burhanuddin Ulakan dan lainnya dari ulama Aceh dan Sumatra juga Palembang semuanya telah mampu mencetak santrinya menjadi ulama besar yang hingga kini kita rasakan barokah ilmunya.
Dari jumlah pondok pesantren salaf yang awalnya sangat terbatas jumlahnya maka setelah runtuhnya kekuatan Belanda yang sejak awal melarang pendirian dan pengembangan pendidikan keagamaan, jumlah pondok pesantren salaf , ulama dan santri terus berkembang dengan tetap mempertahankan tradisi dan metode tradisionalnya sehingga keberhasilannya dalam mencetak ulama dan kyai yang 'allamah juga tetap dipertahankan. Hal seperti ini terus beralanjut hingga awal abad XX Masehi.
Di sisi lain, pondok pesantren salaf mempunyai peranan yang sangat penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Dan tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia. Lembaga ini telah eksis jauh sebelum kedatangan Islam di Nusantara. Sejak masa awal penyebaran Islam, pondok pesantren salaf adalah saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia. Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa terpisahkan dari peranan pondok pesantren salaf. Bermula dari pondok pesantren salaf, perputaran roda ekonomi dan kebijakan publik Islam dikendalikan. Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam bidang keilmuan dan intelektual. Seiring perkembangan zaman, pesantren membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Pesantren tidak hanya mengadopsi madrasah tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum dalam rangka mengikuti tuntutan masyarakat agar santri bisa belajar pengetahuan agama dan menguasai pengetahuan umum. Dengan demikian, pesantren telah memberikan peranan yang besar terhadap pembangunan nasional dalam bidang pendidikan.

Menurut kaum fungsionalis , seluruh sistem sosial memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan keseimbangan internalnya, demikian halnya pondok pesantren salaf. Hal tersebut terkait dengan empat alasan prinsip yaitu :
1.    Keseluruhan sistem sosial adalah sebuah struktur yang elemen-elemen di dalamnya betul-betul terintegrasi.
2.    Keseluruhan sistem sosial  merupakan sebuah struktur yang stabil.
3.    Setiap elemen dari sebuah sistem sosial memiliki fungsi dan kontribusi dalam mempertahankan sistem itu.
4.    Fungsi keseluruhan sistem tersebut didasarkan pada konsensus para anggotanya berkaitan dengan nilai-nilai fundamental.

Berdasarkan empat tesis kesimbangan di atas, sebenarnya sangat sulit bagi kita untuk mengakui kemampuan eksistensi bagian-bagian yang menjadi pembentuk sebuah sistem sosial pada saat yang sama juga menjadi agen-agen transformasi.  Bagi T. Parsons nilai-nilai yang diperdalam selama sosialisasi ini merupakan keseimbangan yang efektif dalam mengantisipasi tuntutan perubahan. Fungsi stabilitas normatif yang dihasilkannya menjelaskan fenomena-fenomena daya tahan terhadap perubahan yang seringkali ditemukan di semua masyarakat.
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Konsep yang berkembang dari Teori Fungsionalis (Functionalist Theory) adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag.         
Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn. Jauh dari sifat statis, tertutup dan koheren, kebudayaan  merupakan persimpangan jalan di mana keterampilan-keterampilan dan sumber-sumber penting diperjual belikan, dicuri diperbarui, dialihkan. Sejarah manusi sama dengan hiruk pikuknya  dengan sebuah bazar seiring dengan terjadi perbenturan berbagai pandangan hidup dan mereka yang ada di dalamnya melontarkan pendapat, menyerobot, memplagiat, merendahkan, memperbudak, tetapi selalu berinteraksi dan saling mengubah satu sama lain.                                                                                              
Ada dua hal yang sangat penting dan saling terkait dalam pendidikan Islam. Ke dua hal itu adalah, pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab taj’did al-tarbiyah al-Islamiah dan al-hadasah, dalam liputan istilah pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam, contoh paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ haji kecil.

C.    Dinamika Sosial Pendidikan di Pondok Pesantren Salaf
Lembaga yang menjelmakan corak Islam yang diwakili NU, pondok pesantren pada dasarnya merupakan sebuah fenomena pedesaan. Pondok pesantren salaf adalah sejenis sekolah tingkat dasar dan menengah yang disertai asrama di mana para murid, santri mempelajari kitab-kitab keagamaan di bawah bimbingan seorang guru, kyai.  Tidak dapat diketahui secara pasti sudah berapa lama lembaga pendidiakn Islam tradisional ini hadir di Jawa, tetapi kita tahu bahwa jumlah pondok pesantren meningkat tajam pada paro ke dua abad ke sembilan belas dan terus berkembang sejak saat itu. Banyak pemuda Islam yang telah menetap beberapa tahun di Makah  untuk belajar kepada para guru terkemuka di sana, dan setelah kembali ke Jawa  mereka mendirikan pondok pesantren sendiri.  
Pondok pesantren yang didirikan, biasanya meski tidak selalu, terletak jauh dari kota. Semakin banyak daerah hutan Jawa dibuka dan dibersihkan untuk lahan penanaman padi dan tebu , begitu juga untuk pengembangan pondok pesantren.
Manusia adalah makhlul sosial (Homo Sosius), yang dibekali Allah SWT dengan akal. Akal akan menjadikan manusia mengetahui segala sesuatu. Sesuatu yang sepele terkadang terlupakan, begitu pula dalam kehidupan. Manusia sering terfokus kepada persoalan besar, tetapi sering kali terlena pada permasalahan yang sepele atau sederhana. Ditinjau dari segi filosofis, akal akan menjadi fondasi untuk membangun kesadaran intelektual sehingga untuk itu manusia seharusnya memahami hakikat diri dan lingkungannya dalam proses perubahan.    
Suatu tatanan sosial yang mengalami detradisionalisasi adalah suatu tatanan di mana populasi menjadi lebih aktif dan refleksif, meskipun makna ‘refleksif’ harus dipahami dengan tepat. Ketika masa lalu kehilangan kekuatannya, atau menjadi ‘alasan’ di antara alasan-alasan lainnya untuk melakukan sesuatu yang akan dilakukan, kebiasaan yang telah ada sebelumnya merupakan satu-satunya petunjuk yang terbatas bagi aksi; sementara masa depan, terbuka bagi sejumlah ‘skenario’, memiliki daya tarik yang paling penting. 
Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interkasi dan perilaku individual.  Masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa yang akan datang. Kehadiran masyarakat selalu melalui fase antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit dan potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat dengan fase kini, dan fase kini merupakan persyaratan sebab akibat yang menentukan fase berikutnya. Masalah tradisi takkan muncul bila berbagai keadaan masyarakat dalam rentetan proses terpuutus, dalam arti bila rentetan proses itu berakhir sama sekali  sebelum proses yang baru dimulai.   
 
Keberhasilan kaum sarungan itu ternyata mampu mengundang kekhawatiran kaum nasionalis akan kejayaan dan kekuatan yang dimilikinya dalam merebut kemerdekaan, dan mengisi pembangunan Indonesia ke depan. Kekhawatiran itu sangat beralasan mengingat Pesantren sebagai model pendidikan tertua dan pertama di Indonesia dan diakui masyarakat keberhasilan peran alumninya, maka pantas kalau kemudian legitimasi itu harus dihilangkan. Karena dengan legitimasi itu kaum tradisionalis akan mudah untuk mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin bangsa dan negara sehingga kesempatan kaum nasionalis untuk maju menjadi pemimpin akan tertutup. Kemungkinan ke dua pengganjalan itu juga terjadi akibat keyakinan mereka bahwa hanya kaum nasionalislah yang paling berjasa merebut dan mengisi kemerdekaan sehingga hanya mereka yang memenuhi syarat dan berhak menjadi pemimpin dan pejabat negara dengan ijazah negerinya.
Dari kekhawatiran dan kesalahpahaman itu lahirlah ‘pertarungan’ antara kaum tradisonalis dan nasionalis yang berlanjut kepada pengganjalan dan perebutan hak dan kesempatan kerja dalam pemerintahan. Jelas tindakan seperti itu telah memojokan dan merugikan kaum tradisonalis yang bekerja dan belajar dengan ikhlas tanpa tujuan duniawi seperti jabatan, pencarian gelar dan Ijazah. Namun ketulusan usaha mereka itu justru membuka jalan lain yang bisa mengangkat kedudukan kaum tradionalis yang lebih tinggi dari jabatan dan kedudukan kaum nasionalis dihadapan rakyat yaitu sebagai Kiyai, ulama atau ustadz yang dikagumi dan disegani masyarakat. Dan posisi ini juga tidak bisa terbantahkan oleh jabatan dan kedudukan pemerintahan mereka. Keadaan ini juga telah melahirkan ketakutan baru kaum nasionalis dengan diperketatnya kegiatan keagamaan kaum sarungan.
Dalam prospektif pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu pengetahuan tidak hanya ingin mengetahui obyek-obyek kajiannya, ia juga ingin menjelaskan mengapa obyek-obyek itu seperti yang ada. Ilmu pengetahuan, secara khas mencapai hal ini dengan cara mencari kekuatan-kekuatan kausal yang ada pada salah satu  jenis entitas dan yang membuat jenis itu seperti adanya.  Dawan Rahardjo mengkaji bahwa pondok pesantren salaf merupakan sub kultural yang unik dan penting untuk diteliti.  Perhatian terhadap masalah ini sudah banyak direspon oleh para peneliti ilmu-ilmu social dan ilmu agama Islam.
Pemikiran Transformatif bertolak dari padangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah manusia. Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi terus menerus, dan mentransformasikan kepada masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis. Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para pemikir Islam transformatif bukanlah pada aspek-aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial-ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan sebagainya. Bahkan bagi para pemikir transformatif praksis, terdapat kecenderungan kuat “membumikan” ajaran-ajaran agar menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu ketidak adilan, kebodohan, dan keterbelakangan. Mereka menghendaki teologi bukan sekedar sebagai ajaran yang absurd dan netral, tetapi sebagai suatu ajaran yang “memihak” dan “membebaskan” mayoritas umat Islam dari berbagai kelemahan. Demikian juga, proses Islamisasi dalam pemikiran kaum transformis tidaklah diartikan dalam kerangka literal dan formal, tetapi direfleksikan dalam kerangka produktif yang berorientasi pada perubahan sosial-ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat adil dan demokratis.  
Refleksi transformatif tersebut, kemudian diimplementasikan ke dalam gerakan-gerakan  pengembangan masyarakat (community development) dengan pendekatan praksis : ke satuan dialektis antara refleksi dan aksi, teori dan praktek, serta iman dan amal. Sedangkan basis sosial yang dimanfaatkan oleh para pemikir transformatif ini dalam menuangkan ide-ide praksis dan merealisir program-programnya, umumnya adalah lembaga swadaya masyarakat.  
Sementara pada tataran teoritis, pemikiran transformatif berusaha membangun “teori-teori sosial alternatif” yang didasarkan pada pandangan dunia Islam. Para pemikir transformatif yang bergerak dalam tataran teoritis, berusaha merumuskan alternatif terhadap kecenderungan dan dominasi positivisme yang kuat di kalangan ilmuwan dan pemikir sosial Muslim. Karena itu mereka mengidealkan maujudnya apa yang disebut dengan “ilmu sosial profetis”

D.    Pola Pondok Pesantren Salaf Yang Ideal.
1.    Potensi Pondok Pesantren Salaf

Kalangan  pesantren umumnya tentu merasa bersyukur, bahkan berhak untuk bangga, karena meningkatkan  perhatian masyarakat  luas pada dunia pendidikan dan pesanren. Dari sebuah lembaga-lembaga yang hampi-hampir tidak diketahui eksistensi dan peran positifnya,  menjadi sebuah  bentuk kelembagaan sistem pendidikan yang ber hak mendapatkan “lebel” asli Indonesia.maka orangpun  mulai membicarakan kemungkinan pesantren  menjadi pola pendidikan nasional. Kemungkinan ini diperbesar dengan munculnya  anggapan bahwa sistem pendidikan yang kini secara resmi berlaku adalah warisan pemerintah Belanda, karena masih mengandung ciri-ciri kolonial, yang tentunya tiak bisa kita tetapkan sepenuhnya di negeri kita.

Bahkan lebih dari itu: pesantren diharapkan dapat berperan menciptakan dukungan sosial bagi pembangunan yang sedang berjalan. Sebuah dukungan yang dinamis, spontan dan langgeng. Apalagi jika kita kaitkan dengan keperluan untuk menemukan suatu pola pembangunan yang bersifat “indigenous”,asli sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia sendiri,maka akses pesantren untuk memenuhi keperluan  tersebut sangat besar. Tidak bisa kita pungkiri bahwa pesantren adalah sebuah lembaga sistem pendidikan-pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan  mengakar kuat.
Tetapi, di sini kita tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan dan terlampau optimis. Sebab, jika harapan-harapan penilaiaan dari luar tersebut cukup serius,   berarti beban tanggungjawab yang diletakkan di atas pundak para pendukung pondok pesantren akan menjadi semakin berat. Padahal kalau kita lihat kenyataannya, pesantren-pesantren kitamasih bannyak memiliki kekurangan. Tentunya lebih baik kita benahi dulu kekurangan-kekurangan tersebut dengan berusaha mencarikan penyelesaiaannya. Bertolak dari adagium bahwa sebuah introspeksi atau kritik pada diri sendiri adalah tidak bisa sepenuhnya obyektif, maka kalangan “dalam” pesantren sendiri tentunya tidak dapat mengidentifikasi semua kekurangan-kekurangan tersebut. Namun tidak ada salahnya kalangan pesantren memulainya.Sebagaimana diajarkan dalam sebuah pepatah: “Buatlah perhitungan sebelum diperhitungkan.  Meskipun demikian, sungguh menyedihkan bahwa, sementara kita bahagia melihat kantong-kantong kemjuan dan kesejahteraan di berbagai penjuru dunia muslim, kita masih melihat kantong-kantong kemiskinan, kekurangan dan kelangkaan di antara umat di seluruh dunia. Kenyatannya adalah bahwa sebagian cukup besar masyarakat muslim dunia masih tertinggal dalam hal kemajuan sosial-ekonomi secara internasional.

Ketika para pemimpin Islam memikirkandan mencari jalan keluar dari keterbelakangan, mereka sepakat bahwa langkah pertama adalah melalui perbaikan pendidikan.  Pondok pesantren salaf merupakan institusi yang muncul secara alamiah dan fenomenologis. Di masyarakat telah terbangun asumsi bahwa pondok pesantren salaf direpresentasikan oleh ormas Islam NU. NU yang identik dengan pondok pesantren salaf adalah generasi yang mampu mempertautkan kearifan tradisi dan kemanfaatan modernitas. Kearifan tradisi bersumber dari kekayaan khazanah dunia pondok pesantren salaf yang mampu mengairi pelbagai komunitas di tanah air. Termasuk ketika pembiacaraan mengenai sistem pendidikan kepesantrenan, maka muncul pertenyaan yang mengemuka "apakah cukup mampu untuk menjawab dan keluar dari keterbelakangan selama ini".  Melihat fenomena ini, pondok pesantren salaf harus mempunyai langkah-langkah kongkrit  yang harus diambil untuk mengejar keterbelakangan masyarakat, terutama kaum muslimin.  Menurut KH Abdul Muchith Muzadi, ada dua pertanyaan yang muncul :
Pertama, ungkapan bahwa pondok pesantren salaf tidak mungkin mampu mengejar keterbelakangan,  sehingga pondok pesantren salaf ditinggalkan saja dan harus diadakan lembaga pendidikan baru di luar pondok pesantren  dengan menggunakan sistem dan metode Barat.
Ke dua, pendirian bahwa meskipun pondok pesantren dalam kondisinya saat ini belum mampu mengejar keterbelakangan, tetapi sekali-kali pesantren tidak boleh ditinggalkan. Dalam pandangan ini, pondok pesantren salaf ibarat rangkaian kereta apai yang membawa banyak gerbong dan sekian juta penumpang. Alangkah dosanya kita mencari kemajuan melalui jalan lain dengan meninggalkan sekian banyak umat dan membiarkannya dalam keadaan tetap terbelakang. Kita harus maju bersama umat, betapapun sulit dan betapapun beratnya, pondok pesantren salaf harus diperbaiki dan dibenahi dari dalam, tidak dengan meninggalkannya. 
Perkembangan generasi muda pondok pesantren yang sedemikian terbuka terhadap perkembangan dan perubahan gagasan-gagasan modernitas telah mengirimkan pesan kepada masyarakat luas bahwa bangunan tradisi dapat menjadi halaman bagi proses persemaian gagasan kemodernan semacam demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia, bahkan perkembangan teknologi global.   Yang paling menonjol di antara pihak yang mengambil pendirian pertama adalah Muhammadiyah, berdiri tahuan 1912. Organisasi keagamaan tersebut berhasil mendirikan sekian banyak institusi sekolah, mulai TK sampai dengan perguruan tinggi. Dan memiliki murid dan mahasiswa yang cukup banyak. Tetapi efek sampingnya, kita bisa melihat kalau Muhammadiyah jauh dengan pondok pesantren salaf. Mungkin saat ini sudah mulai memahami kondisi sodial di Indonesia. Sehingga saat ini Muhammdiyah juga mulai memiliki pondok pesantren. Namun belum bisa sangat dekat seperti NU, yang memang secara historis sangat berkaitan dengan pondok pesantren salaf.  
Sedangkan yang mengambil pendirian ke dua adalah para kyai penbgasuh pondok pesantren, dengan memikul beban berat, memperbaiki, membenahi pondok pesantren, memasukkan unsur-unsur positif  dari sistem dan metode pendidikan baru, tanpa menghilangkan jati diri pondok pesntren. Orang-orang pesantren sekarang tidak boleh disamakan dengan orang-orang pesantren pada 20-30 tahun yang lalu, meskipun sebagian kecil dalam beberapa hal masih tetap seperti dulu. Yang pasti, mereka masih tetap di dalam dan selalu bersama pondok pesantren.   
Sebagai organisasi keagmaan yang menjaga dan memelihara nilai-nilai tradisi Islam dan Negara Kesatuan RI, pondok pesantren  salaf adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pondok pesantren tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indegenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan meng-Islamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.  Bahkan Nurcholish Madjid memberikan  statemen yang sangat optimis dan anilitis tentang  fungsi dan peran pondok pesantren, dengan menyatakan  :
 Kalau negara Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun yang lain, tetapi mungkin namanya “universitas” Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, di mana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang berorientasi agama.
Pengembangan perguruan tinggi bertolak dari suatu pandangan bahwa pendidikan tinggi Islam merupakan suatu wahana pengembangan pandangan hidup yang Islami, untuk dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidupnya (manual maupun mental sosial) selaras dengan minat, bakat, kemampuan dan bidang keahliannya masing-masing. Pandangan ini berimplikasi pada pendidikan Islam yang berorientasi  pada peningkatan kualitas iman dan taqwa, atau bahkan imam (leader) bagi orang yang bertaqwa (QS.Al-Furqan : 74). Taqwa ini terwujud dalam dua sikap, yaitu itba' syari'at Allah (mengikuti fundamental doctrine)  dan funamental value yang tertuang dan terkandung dalam al-Quran dan sunnah Rasullulah.) dan sekaligus itba' sunnatillah (mengikuti aturan-aturan dan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta). 
Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Perkembangan keadaan, yang tidak memperhitungkan hal ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka, dari tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap untuk mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan pasir tanpa menyadari badanya masih tampak. Jika kita masih bersikap seperti itu, akibatnya akan menjadi sangat besar bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan keaneka-ragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan perkembangan yang akan menentukan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, namun gampang dirumuskan. realitasnya memang benar demikian, sesuai dengan perkembangan saat ini. 
Sikap orang yang itba' syari'at Allah, ditandai dengan :
a.    Senantiasa membaca dan memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang tertuang dan terkandung dalam al-qur'an dan al-sunnah.
b.    Berusaha menghayatinya sambil memposisikan diri sebagai pelaku (actor) ajaran Islam yang loyal, di samping sebagai pemikir, penalar dan pengkaji..
c.    Memiliki  commitment yang tinggi terhadap ajaran Islam.
d.    Siap berdedikasi dalam rangka menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam  yang rahmatan li al-'alamin.
Sedangkan sikap orang yang itba' sunnatillah (mengikuti aturan-aturan dan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta) ditandai dengan :
a.    Senantiasa membaca dan fenomena alam, fenomena fisik dan psikis, dan fenomena sosial-historis, serta fenomena-fenomena lainnya.
b.    Memposisikan diri sebagai pengamat, pengkaji atau reseacher (peneliti), sehingga  memiliki daya analisis yang tajam, kritis dan dinamis dalam memahami fenomena  yang ada di sekitarnya.
c.    Senantiasa membangun kepekaan intelektual serta kepekaan informasi.
d.    Karena masing-masing orang  mempunyai bakat, kemampuan dan minat tertentu, maka dalam itba' sunnatillah perlu disesuaikan dnegan kemampuan dan keahlian masing-masing, sehingga terwujudlah kematangan profesional.
Pengembangannya yaitu itba' syari'at Allah (mengikuti fundamental doctrine) maupun itba' sunnatillah (mengikuti aturan-aturan dan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta) yang dimanifestasikan dalam 8 (delapan) indikator sikap tersebut di atas merupakan landasan normatif-teologis, yang berbagai program studi umum di PTAI, yag tidak hanya terbatas pada bidang-bidang yang tercakup dalam itba' syari'at Allah ("Islamic studies" dalam arti sempit), tetapi juga bidang-bidang yang tercakup dalam itba' sunnatillah (natural sciences, social sciences dan humaniora).

1 komentar: